Rabu, 12 Maret 2014

kajian puisi berdasarkan fonologi dan kondisi penulis



Nama               : Mei Andiani
NIM                : A310120032
Kelas               : D


Daun Pepaya
Oleh: Mei Andiani

Hempasan angin menerpa daun pepaya
Bintang di langit bercerai berai
Kidung di sana entah ke mana
Bisikan di sini entah datangnya dari arah mana
Kesunyian menguatkan kalbu hampa
Ketidak sempurnaan manusia membuatnya
Ia selalu bertanya
Angin malam
Sampaikan pesan kalbu ini pada-Nya
Dialah teman sejati
Dialah raja dari segala CINTA
Ibu Bapak,
Lihatlah aku
Aku ingin dilihat
Karenamu aku hidup
Karenamu aku bernafas
Karenamu aku berdiri
Karenamu aku berjalan
Karenamu aku berlari
Dan hanya karenamu aku di sini
Aku bertahan demi ukiran namamu di kalbuku
Masih mengerak di otak
Mengelumut penuh humus
Sinar mentari tak mampu menyingkirkanmu
Karena air (engkau) adalah dasar hidup dan energiku

Surakarta, 7 Maret 2014

Kajian Puisi:
1.      Aspek Fonologi
a.       Daun Pepaya: daun yang rasanya pahit namun penuh dengan khasiat. Awalnya pahit pada akhirnya akan manis juga. Biasa digunakan untuk obat, jika sudah sembuh maka manislah hasilnya (kesehatan) yang tak ternilai harganya. Inilah hidup, hidup penuh dengan kepahitan, namun sebagai manusia yang beriman hendaklah memikirkan hal itu. Jika kita mensyukuri nikmat maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan. Ikhtiar dalam menjalani hidup.
b.      Hempasan angin menerpa daun pepaya: tiupan angin menghantam daun pepaya yang ada di depan kost.
c.       Bintang di langit bercerai berai: malam hari yang gelap gulita.
d.      Kidung di sana entah ke mana: nyayian/ lelipur hati/ nasehat yang tidak pernah terdengar lagi dari bibir orang tua.
e.       Bisikan di sini entah datangnya dari arah mana: banyak pemikiran yang datang di kepala (mengandai-andai) namun entah yang mana yang harus diwujudkan dahulu (perlu bimbingan).
f.       Kesunyian menguatkan kalbu hampa: malam yang sepi sangat mendukung dan menguatkan kerinduan di hati bersama orang tua.
g.      Ketidak sempurnaan manusia membuatnya ia selalu bertanya: saya (penulis) selalu menanyakan keadilan hidup, mengapa tidak seperti yang ia pinta, mengapa harus seperti ini, mengapa dan mengapa?
h.      Angin malam: (dingin) angin yang berhembus di malam hari.
i.        Sampaikan pesan kalbu ini pada-Nya: segala apa yang dirasa oleh (penulis) hanya mampu dincurahkan kepada Allah semata. Tiada orang tua yang mendengar, karena ketiadaannya. Aku bukan seperti mereka.
j.        Dialah teman sejati: di manapun kita berada pasti Allah selalu menemani dan melihat kita.
k.      Dialah raja dari segala CINTA: karena yang menbolak-balikkan hati manusia adalah Allah. Arrahman Arrahim (Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Allah memberikan ujian tidak mungkin melampaui batas kemampuan umat-Nya, karena Dia menyayanginya.
l.        Ibu Bapak: orangtua (orang yang tua).
m.    Lihatlah aku: saya (penulis) ingin dilihat oleh orangtuanya. Ingin melihat senyum yang mengembang di bibir mereka.
n.      Aku ingin dilihat: tak mudah saya (penulis) bisa sampai seperti ini sekarang ini, bagi anak-anakmu.
o.      Karenamu aku hidup: demi mereka saya bertahan.
p.      Karenamu aku bernafas: demi mereka saya meramu angan.
q.      Karenamu aku berdiri: demi meraka saya berusaha mewujudkan angan.
r.        Karenamu aku berjalan: demi meraka saya mengarungi hidup, berikhtiar untuk menjadi yang lebih baik.
s.       Karenamu aku berlari: berusaha dengan sekuat tenaga untuk mewujudkan angan serta mimpi demi kalian (orangtua) tersenyum melihat (bangga) memiliki anak sepertiku.
t.        Dan hanya karenamu aku di sini: karena merekalah saya bertahan hidup, bertahan terhadap cobaan, bertahan demi cita-cita, dan mencoba untuk hidup yang lebih baik lagi dengan membangun asa. Tak mudah bagi saya untuk sampai di UMS. Bersyukur sekali saya bisa berdiri di antara kalian semua (teman-temanku). Ini merupakan suatu hadian dari Allah. Inikah yang saya petik dari do’aku selama ini? Inikah keadilan Tuhan?
u.      Aku bertahan demi ukiran namamu di kalbuku: saya ingin menjunjung derajat kalian (orangtua) di hadapan orang-orang yang biasa meremahkan karena kemiskinan yang dimiliki.
v.      Masih mengerak di otak: selamanya akan terngiang nama kalian (orangtua) di fikiranku, engkaulah pahlawanku, engkaulah idolaku. Tidak mudah bagimu membuatku mampu seperti ini.
w.    Mengelumut penuh humus: semakin tertanalah kakuatanku untuk membahagiakanmu.
x.      Sinar mentari tak mampu menyingkirkanmu: orang lain dan orang-orang yang benci terhadap kita, saya anggap hal biasa dan bagaikan anjing menggonggong kafilah berlalu. Saya tak pedulikan mereka berkata apa terhadap keluarga kita.
y.      Karena air (engkau) adalah dasar hidup dan energiku: (engkau)= orangtua, adalah kekuatanku.

2.      Proses/kondisi mental yang dimiliki oleh penulis:
Saya merindukan dan menginginkan kasih sayang orangtua sebagaimana mestinya. Layaknya manusia/anak pada umumnya. Ingin dibelai kepalanya, ingin dipeluk tubuhnya, ingin ditanya mendapat nilai berapa di sekolahan, sampai ingin ditanya hal-hal yang baru saya alami. Ternyata ini semua adalah khayalan semata. Ya, karena orangtua tidak berlatar belakang berpendidikan, satu-satunya tinggal Ayah, Ibu telah tiada sedari kecil. Mungkin jika ditanya, seperti apa wajah Ibumu? Jawabanku “tidak tahu”. Ayah membanting tulang demi anak-anaknya. Memberikan yang terbaik semampunya, memberikan kasih sayang walaupun tak pernah ia simbolkan. Sedari kecil sudah hidup mandiri mencukupi kebutuhan sendiri. Ambil yang ada, tidak perlu iri dengan punyanya teman. Aku sangatlah berbeda dengan kamu, aku tidak seperti kalian.
Bisa lulus SMP sudah bersyukur (bisa sekolah). Waktu SMA sangatlah kepayahan dalam hal ini. Saya pandaipun tidak, punya keahlianpun juga tidak, bahkan bukanlah anak orang berada, namun inilah tangan Allah. Allah Maha Adil. Inilah keadilah Tuhan. Inilah kerasnya hidup, inilah pilihan.
Lulus SMA mencari-cari informasi mengenai beasiswa perguruan tinggi. Alhamdulillah lewat jalur aktivis Muhammadiyah saya dapatkan. Raihlah di UMS. Di sini saya ingin membuktikan kepada orang-orang bahwa saya BISA, saya anak orang tidak punya juga bisa kuliah, saya harus menjadi orang.
Tuhan..tolong jangan ambil nyawa Ayahku dulu. Aku belum sempurna melangkah, belum sempurna membuatnya tersenyum, belum membahagiakannya dengan jerih payahku ini. Biarpun semua jasanya tak mampu aku bayar dan tebus, namun hanya satu keinginnanku, hamba hanya ingin melihat senyumnya mengembang di bibir dengan tulus bangga kepada anaknya. Aamiin Ya Robb..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar