Nama : Mei Andiani
NIM : A310120032
Kelas : I A
RESEPSI SEBUAH FIKSI “NOVEL”
SEBELAS PATRIOT
Karya : Andrea
Hirata
I.
PENGANTAR
“Betapapun runyamnya
bangsa ini, Andrea menunjukkan bahwa kita masih punya harapan” itu respon Ahmad
Syafi’i Ma’arif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah setelah membaca novel karya
Andrea Hirata seorang novelis Indonesia yang paling fenomenal. Novel kali ini
berjudul Sebelas Patriot yang menjadi karya fiksi terbaik dan termasuk 7 karya
terpilih di antara banyak karya dari seluruh dunia untuk diterbitkan majalah Washington
Square Review, New York University, edisi winter/spring 2011. Sebelas
Patriot adalah kisah yang menggetarkan dan sangat inspiratif tentang cinta
seorang Ayah, makna menjadi orang Indonesia, dan kegigihan menggapai
mimpi-mimpi.
II.
ISI TANGGAPAN
“Untuk Ayahku; untuk
PSSI; untuk Rakyat Indonesia; Indonesia, Aku Datang; Indonesia, Aku Menang”
kata-kata itulah yang menjadi pengantar sebuah cerita akan mencapai tujuannya.
Diawali dari cerita tentang ayah yang sifatnya pendiam dan tampak samar, kita
kenal si Ikal (panggilan akrab bagi Ayah
adalah Bujang) menjadi anaknya dan temannya si Trapani (pemalu) serta si Mahar
(bergajul) menggoda seekor luak hasil tangkapan pemburu. Ayah bekerja menjadi
kuli di PN Timah selalu menerima gaji kecil tiap tanggal 1 dan mendapat beras
60 kg. Terlihat di warung-warung kopi, pemudanya membicarakan tentang
pemerintah atau orkes dangdut, sedangkan yang tua membicarakan tentang masa
sulit penjajahan Belanda sambil menggulung lengan baju memperlihatkan bekas
luka tembak atau dicambuk Belanda, di sebuah tempat penyiksaan disebut tangsi.
Anak lelaki Melayu di
bawah umur diseret ke parit-parit
tambang umtuk kerja rodi. Tiga bersaudara yang usianya 13, 15, dan 16 tahun
dipaksa oleh Belanda untuk menggantikan Ayahnya yang hampir sepanjang hidup
ditindas oleh penjajah. Ada tradisi Belanda yang mewajibkan ganti tenaga kerja
diciptakan kolonial di Tanah Melayu dan berisiko tembak di tempat bagi pembangkang. Terdapat kekejaman,
Belanda tidak sungkan membakar kampung dan membunuh setiap orang tidak peduli
wanita, anak-anak, dan orang tua. Akhirnya rakyat menemukan caranya sendiri
untuk melawan, para penyelam tradisional melawan dengan membocorkan kapal-kapal dagang Belanda yang
mendekati perairan Balitong. Para pemburu melawan dengan meracuni sumur-sumur
yang akan dilalui tentara Belanda. Para imam membangun pasukan rahasia di
langgar-langgar. Para kuli parit tambang melawan dengan sepak bola.
Van Holden seorang yang
membawahi wilayah ekonomi pulau Bangka dan Balitong memerintahkan hari lahir
Ratu Belanda diperingati di tanah jajahan. Tanah air yang jelas-jelas menjadi
jajahannya di siang bolong. Perayaan ditandai dengan pertandingan olahraga
dalam kompetisi piala Distric beheerder. Pertandingan berlangsung antara
orang jajahan melawan orang jajahan, dan atau Belanda melawan orang jajahan.
Namun sehebat apapun penduduk peribumi tetap saja disuruh untuk kalah oleh
Belanda, jika tidak mereka akan dimasukan dan disiksa di dalam tangsi. Ketiga
saudara (13, 15, dan 16 tahun) berhasil mengangkat pamor unit tambang dalam
piala Distric beheerder. Ketika bermain bola, mereka terlempar ke dunia
lain karena tidak ada siksaan penjajahan. Bagi kakak beradik itu lapangan sepak
bola merupakan surga kecil selama dua kali empat puluh lima menit. Pelatih Amin
terpaksa memanggil mereka tanpa alasan yang jelas, pelatih terintimidasi sehingga
harus membangkucadangkan mereka. Bagi mereka lapangan bola merupakan
medan tempur untuk melawan panjajah. Seusai pertandingan, Pelatih Amin dan tiga
saudara kena ringkus tentara Belanda, sehingga keesokan harinya mereka kaluar
dari tangsi dalam keadaan babak belur. Selanjutnya si sulung dibuang kerja
paksa ke sebuah pulau untuk membangun dermaga, si tengah dibuang pula bersama
abang sulungnya itu karena dia telah mencetak gol, sedangkan si bungsu kembali
kerja rodi di parit tambang. Terdengar kabar bahwa si bungsu dipanggil oleh Van
Holden untuk memperkuat tim Belanda dalam sebuah pertandingan persahabatan
sesama orang Belanda, namun bungsu tidak hadir dengan alasan dia tidak mau
bergabung dengan tim penjajah kaumnya. Pada akhirnya si bungsu diangkut ke
tangsi keluar dalam keadaan babak belur, kemudian dibuang bersama para
narapidana ke sebuah pulau di barat Balitong untuk membangun mercusuar.
Ternyata si bungsu yang dibuang bersama narapidana adalah Ayah. Pertandingan
terakhirnya memang hanya pertandingan antar sebelas kulit jajahan melawan
sebelas ambtenaar Belanda, namun baginya saat itu lapangan sepak bola
merupakan medan perang di mana peribumi menggempur penjajah. Saat tim nasional
Indonesia –PSSI- menekuk tim nasional Belanda.
Di kampung sekitar usai
penjajahan mereka selalu menonton pertandingan sepak bola di pekarangan balai
desa dengan menyuguhkan seorang komentator yang bernama Toharun, dia adalah
pelatih sepak bola di kampungnya dan merupakan anak dari Pelatih Amin. Ikal,
Trapani, dan Mahar mendaftarkan diri menjadi pemain sepak bola waktu
pendaftaran dimulai, mereka akan dilatih oleh Pelatih Toharun. Pelatih Toharun
merupakan pelatih sepak bola yang menguasai filosofi buah-buahan dalam melatih
sepak bola. Ketika kami hendak bertanding Pelatih Toharun memimpin do’a yang
sangat panjang, karena selain do’a agar tidak terjadi kezaliaman di waktu
pertandingan dia juga mendo’akan para pemimpin negara, bagi para pahlawan, dan
bagi kesejahteraan seluruh umat manusia. Pertandingan berakhir, dan Ikal mendapat
kesempatan untuk mengikuti seleksi ke Palembang menjadi pemain junior PSSI.
Namun Ikal tidak berhasil masuk dan Ikal mengemasi kopernya untuk siap pulang
ke Balitong. Kepulangnnya disambut gembira oleh ayahnya dan dipeluknya
erat-erat. Ikal merasa gagal, ironis Ayah berakhir sebagai patriot dan dirinya
berakhir sebagai pecundang tambahnya. Pada akhirnya Ayah membelikan raket
bulutangkis untuk Ikal, dan itu berarti segala sesuatu harus dibiasakan dengan
kanan, tidak seperti pamain sepak bola yang di idamkannya menjadi pemain sayap
kiri.
Suatu hari Ikal
bertanya kepada Ayahnya “Ayah, klub apa kegemaran Ayah selain PSSI?” Ayah untuk
kedua ratus enam puluh kali tersenyum saja. Namun suatu ketika Ikal terkejut
mendengar jawaban dari Ayahnya, Ayah menjawab: “Real Madrid”. Pemain kesayangan
Ayah adalah Luis Figo. Usai SMA Ikal merantau ke Universitas Sorbonne, Prancis.
Liburan musim panas ia pergi ke Spanyol untuk mendapatkan kaus bertuliskan Luis
Figo di punggungnya dan alangkah senangnya jika ada tanda tangannya. Ketika
ingin membeli kaus itu, Ikal bekerja keras untuk mendapatkan uang sebesar 250
euro harga yang ditawarkan oleh Adriana. Ikal bekerja siang malam, siang ia
menjadi tukang cat bangunan dan di malan hari ia menjadi orang yang
mengumpulkan bola di lapangan sepak bola. Akhirnya uang sebesar 250 euro
terkumpul dan Ikal mendapatkan kaus bertuliskan punggung Luis Figo beserta
tanda tangannya yang akan di hadiahkan untuk Ayahnya.
Selanjutnya Ikal dan
Adriana jatuh cinta terhadap perbincangan seputar sepak bola. Bukan jatuh cinta
seperti roman picisan anak muda, walaupun Adriana adalah seorang wanita cantik
dan memiliki bola mata seperti kelereng biru. Akhirnya tiba saatnya Real Madrid
vs Valencia bertanding, kedua kawan itu ikut menyaksikan di pertandingan
lapangan sepak bola. Pengalaman menonton sepak bola di negara orang memberinya
penghayatan yang lebih dalam tentang arti mencintai PSSI dan makna mencintai
Tanah Air. “Indonesia adalah tangis tawaku, putih tulangku, merah darahku, dan
indung nasibku. Tak ada yang lebih layak kuberikan bagi bangsaku selain cinta,
dan takkan kubiarkan lagi apa pun menodai cinta itu....” tukas Ikal. Keesokan
harinya Ikal mengirim kaus Luis Figo untuk Ayahnya dan kaus Barcelona FC untuk
Pelatih Toharun. Ia juga mengirimkan surat yang menceritakan tentang
pertandingan Real Madrid vs Valencia. Ia membayangkan apakah Ayahnya mengikuti
pertandingan PSSI? Apakah kaki kirinya bergerak-gerak mengikuti pertandingan
itu? Betapa Ikal rindu pada patriotnya itu.
III.
PENUTUP
Novel yang sangat inspiratif sekali. Menceritakan tentang
sejarah semasa penjajahan di Tanah Air oleh Belanda. Kisah tentang pemain sepak
bola nasional PSSI yang penuh perjuangan karena di lapangan sepak bola mereka
ada kesempatan untuk melawan penjajah. Bagi mereka, lapangan sepak bola
merupakan surga kecil selama dua kali empat puluh lima menit. Cerita mengenai
cinta pengorbanan seorang Ayah, kegigihan menggapai impian, serta makna menjadi
orang Indonesia. Betapa berat dan perihnya perjuangan para patriot zaman dahulu
sebelum merdeka. Sebenarnya sudahkah negara ini merdeka dengan di Proklamasikan
Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945? Apakah negara ini sudah
mampu mandiri dan tidak ketergantungan pada negara lain? Tak hayal, negara kita
belum merdeka, karena segala sesuatu yang kita gunakan untuk kebutuhan adalah
hasil impor dari negara lain dan bahan mentahnya merupakan hasil bumi
Indonesia. “Saya telah menyebutkan bahwa imperialisme barat harus disudahi
untuk kepantingan kemanusiaan dan tiap-tiap bangsa yang terjajah mempunyai
kewajiban untuk memerdekakan bangsanya dari penjajahan. Dan oleh sebab itu,
Indonesia harus mencapai kemerdekaannya atas dasar kemanusiaan dan peradaban,
dan saya khawatir satu-satunya jalan untuk melaksanakan itu, seperti kita lihat
tadi, tidak lain dari kekerasan” (Moh. Hatta dalam bukunya Untuk Negeriku)