Senin, 27 Januari 2014

resensi novel SEBELAS PATRIOT



Nama   : Mei Andiani
NIM    : A310120032
Kelas   : I A
RESEPSI SEBUAH FIKSI “NOVEL”
SEBELAS PATRIOT
Karya  : Andrea Hirata

I.                   PENGANTAR
“Betapapun runyamnya bangsa ini, Andrea menunjukkan bahwa kita masih punya harapan” itu respon Ahmad Syafi’i Ma’arif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah setelah membaca novel karya Andrea Hirata seorang novelis Indonesia yang paling fenomenal. Novel kali ini berjudul Sebelas Patriot yang menjadi karya fiksi terbaik dan termasuk 7 karya terpilih di antara banyak karya dari seluruh dunia untuk diterbitkan majalah Washington Square Review, New York University, edisi winter/spring 2011. Sebelas Patriot adalah kisah yang menggetarkan dan sangat inspiratif tentang cinta seorang Ayah, makna menjadi orang Indonesia, dan kegigihan menggapai mimpi-mimpi.

II.                ISI TANGGAPAN
“Untuk Ayahku; untuk PSSI; untuk Rakyat Indonesia; Indonesia, Aku Datang; Indonesia, Aku Menang” kata-kata itulah yang menjadi pengantar sebuah cerita akan mencapai tujuannya. Diawali dari cerita tentang ayah yang sifatnya pendiam dan tampak samar, kita kenal si Ikal  (panggilan akrab bagi Ayah adalah Bujang) menjadi anaknya dan temannya si Trapani (pemalu) serta si Mahar (bergajul) menggoda seekor luak hasil tangkapan pemburu. Ayah bekerja menjadi kuli di PN Timah selalu menerima gaji kecil tiap tanggal 1 dan mendapat beras 60 kg. Terlihat di warung-warung kopi, pemudanya membicarakan tentang pemerintah atau orkes dangdut, sedangkan yang tua membicarakan tentang masa sulit penjajahan Belanda sambil menggulung lengan baju memperlihatkan bekas luka tembak atau dicambuk Belanda, di sebuah tempat penyiksaan disebut tangsi.
Anak lelaki Melayu di bawah  umur diseret ke parit-parit tambang umtuk kerja rodi. Tiga bersaudara yang usianya 13, 15, dan 16 tahun dipaksa oleh Belanda untuk menggantikan Ayahnya yang hampir sepanjang hidup ditindas oleh penjajah. Ada tradisi Belanda yang mewajibkan ganti tenaga kerja diciptakan kolonial di Tanah Melayu dan berisiko tembak di  tempat bagi pembangkang. Terdapat kekejaman, Belanda tidak sungkan membakar kampung dan membunuh setiap orang tidak peduli wanita, anak-anak, dan orang tua. Akhirnya rakyat menemukan caranya sendiri untuk melawan, para penyelam tradisional melawan dengan  membocorkan kapal-kapal dagang Belanda yang mendekati perairan Balitong. Para pemburu melawan dengan meracuni sumur-sumur yang akan dilalui tentara Belanda. Para imam membangun pasukan rahasia di langgar-langgar. Para kuli parit tambang melawan dengan sepak bola.
Van Holden seorang yang membawahi wilayah ekonomi pulau Bangka dan Balitong memerintahkan hari lahir Ratu Belanda diperingati di tanah jajahan. Tanah air yang jelas-jelas menjadi jajahannya di siang bolong. Perayaan ditandai dengan pertandingan olahraga dalam kompetisi piala Distric beheerder. Pertandingan berlangsung antara orang jajahan melawan orang jajahan, dan atau Belanda melawan orang jajahan. Namun sehebat apapun penduduk peribumi tetap saja disuruh untuk kalah oleh Belanda, jika tidak mereka akan dimasukan dan disiksa di dalam tangsi. Ketiga saudara (13, 15, dan 16 tahun) berhasil mengangkat pamor unit tambang dalam piala Distric beheerder. Ketika bermain bola, mereka terlempar ke dunia lain karena tidak ada siksaan penjajahan. Bagi kakak beradik itu lapangan sepak bola merupakan surga kecil selama dua kali empat puluh lima menit. Pelatih Amin terpaksa memanggil mereka tanpa alasan yang jelas, pelatih terintimidasi sehingga harus membangkucadangkan mereka. Bagi mereka lapangan bola merupakan medan tempur untuk melawan panjajah. Seusai pertandingan, Pelatih Amin dan tiga saudara kena ringkus tentara Belanda, sehingga keesokan harinya mereka kaluar dari tangsi dalam keadaan babak belur. Selanjutnya si sulung dibuang kerja paksa ke sebuah pulau untuk membangun dermaga, si tengah dibuang pula bersama abang sulungnya itu karena dia telah mencetak gol, sedangkan si bungsu kembali kerja rodi di parit tambang. Terdengar kabar bahwa si bungsu dipanggil oleh Van Holden untuk memperkuat tim Belanda dalam sebuah pertandingan persahabatan sesama orang Belanda, namun bungsu tidak hadir dengan alasan dia tidak mau bergabung dengan tim penjajah kaumnya. Pada akhirnya si bungsu diangkut ke tangsi keluar dalam keadaan babak belur, kemudian dibuang bersama para narapidana ke sebuah pulau di barat Balitong untuk membangun mercusuar. Ternyata si bungsu yang dibuang bersama narapidana adalah Ayah. Pertandingan terakhirnya memang hanya pertandingan antar sebelas kulit jajahan melawan sebelas ambtenaar Belanda, namun baginya saat itu lapangan sepak bola merupakan medan perang di mana peribumi menggempur penjajah. Saat tim nasional Indonesia –PSSI- menekuk tim nasional Belanda.
Di kampung sekitar usai penjajahan mereka selalu menonton pertandingan sepak bola di pekarangan balai desa dengan menyuguhkan seorang komentator yang bernama Toharun, dia adalah pelatih sepak bola di kampungnya dan merupakan anak dari Pelatih Amin. Ikal, Trapani, dan Mahar mendaftarkan diri menjadi pemain sepak bola waktu pendaftaran dimulai, mereka akan dilatih oleh Pelatih Toharun. Pelatih Toharun merupakan pelatih sepak bola yang menguasai filosofi buah-buahan dalam melatih sepak bola. Ketika kami hendak bertanding Pelatih Toharun memimpin do’a yang sangat panjang, karena selain do’a agar tidak terjadi kezaliaman di waktu pertandingan dia juga mendo’akan para pemimpin negara, bagi para pahlawan, dan bagi kesejahteraan seluruh umat manusia. Pertandingan berakhir, dan Ikal mendapat kesempatan untuk mengikuti seleksi ke Palembang menjadi pemain junior PSSI. Namun Ikal tidak berhasil masuk dan Ikal mengemasi kopernya untuk siap pulang ke Balitong. Kepulangnnya disambut gembira oleh ayahnya dan dipeluknya erat-erat. Ikal merasa gagal, ironis Ayah berakhir sebagai patriot dan dirinya berakhir sebagai pecundang tambahnya. Pada akhirnya Ayah membelikan raket bulutangkis untuk Ikal, dan itu berarti segala sesuatu harus dibiasakan dengan kanan, tidak seperti pamain sepak bola yang di idamkannya menjadi pemain sayap kiri.
Suatu hari Ikal bertanya kepada Ayahnya “Ayah, klub apa kegemaran Ayah selain PSSI?” Ayah untuk kedua ratus enam puluh kali tersenyum saja. Namun suatu ketika Ikal terkejut mendengar jawaban dari Ayahnya, Ayah menjawab: “Real Madrid”. Pemain kesayangan Ayah adalah Luis Figo. Usai SMA Ikal merantau ke Universitas Sorbonne, Prancis. Liburan musim panas ia pergi ke Spanyol untuk mendapatkan kaus bertuliskan Luis Figo di punggungnya dan alangkah senangnya jika ada tanda tangannya. Ketika ingin membeli kaus itu, Ikal bekerja keras untuk mendapatkan uang sebesar 250 euro harga yang ditawarkan oleh Adriana. Ikal bekerja siang malam, siang ia menjadi tukang cat bangunan dan di malan hari ia menjadi orang yang mengumpulkan bola di lapangan sepak bola. Akhirnya uang sebesar 250 euro terkumpul dan Ikal mendapatkan kaus bertuliskan punggung Luis Figo beserta tanda tangannya yang akan di hadiahkan untuk Ayahnya.
Selanjutnya Ikal dan Adriana jatuh cinta terhadap perbincangan seputar sepak bola. Bukan jatuh cinta seperti roman picisan anak muda, walaupun Adriana adalah seorang wanita cantik dan memiliki bola mata seperti kelereng biru. Akhirnya tiba saatnya Real Madrid vs Valencia bertanding, kedua kawan itu ikut menyaksikan di pertandingan lapangan sepak bola. Pengalaman menonton sepak bola di negara orang memberinya penghayatan yang lebih dalam tentang arti mencintai PSSI dan makna mencintai Tanah Air. “Indonesia adalah tangis tawaku, putih tulangku, merah darahku, dan indung nasibku. Tak ada yang lebih layak kuberikan bagi bangsaku selain cinta, dan takkan kubiarkan lagi apa pun menodai cinta itu....” tukas Ikal. Keesokan harinya Ikal mengirim kaus Luis Figo untuk Ayahnya dan kaus Barcelona FC untuk Pelatih Toharun. Ia juga mengirimkan surat yang menceritakan tentang pertandingan Real Madrid vs Valencia. Ia membayangkan apakah Ayahnya mengikuti pertandingan PSSI? Apakah kaki kirinya bergerak-gerak mengikuti pertandingan itu? Betapa Ikal rindu pada patriotnya itu.

III.             PENUTUP
            Novel yang sangat inspiratif sekali. Menceritakan tentang sejarah semasa penjajahan di Tanah Air oleh Belanda. Kisah tentang pemain sepak bola nasional PSSI yang penuh perjuangan karena di lapangan sepak bola mereka ada kesempatan untuk melawan penjajah. Bagi mereka, lapangan sepak bola merupakan surga kecil selama dua kali empat puluh lima menit. Cerita mengenai cinta pengorbanan seorang Ayah, kegigihan menggapai impian, serta makna menjadi orang Indonesia. Betapa berat dan perihnya perjuangan para patriot zaman dahulu sebelum merdeka. Sebenarnya sudahkah negara ini merdeka dengan di Proklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945? Apakah negara ini sudah mampu mandiri dan tidak ketergantungan pada negara lain? Tak hayal, negara kita belum merdeka, karena segala sesuatu yang kita gunakan untuk kebutuhan adalah hasil impor dari negara lain dan bahan mentahnya merupakan hasil bumi Indonesia. “Saya telah menyebutkan bahwa imperialisme barat harus disudahi untuk kepantingan kemanusiaan dan tiap-tiap bangsa yang terjajah mempunyai kewajiban untuk memerdekakan bangsanya dari penjajahan. Dan oleh sebab itu, Indonesia harus mencapai kemerdekaannya atas dasar kemanusiaan dan peradaban, dan saya khawatir satu-satunya jalan untuk melaksanakan itu, seperti kita lihat tadi, tidak lain dari kekerasan” (Moh. Hatta dalam bukunya Untuk Negeriku)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar